Ema 17 – Pulang

Tidak lama berselang, sejumlah sayap biru langit melintas elegan melewati semburat kuning di atas Dermaga Langit.  

“Oh! Lihat-lihat! Itu Hiperdroid dari Langit Timur!” Salah satu orang di dermaga berteriak, dan diikuti oleh yang lainnya yang menyebar dengan cepat.

Satu skuadron mahazirah nirawak berwarna biru langit dengan sepasang sayap bagai malaikat terbang dengan cepat dari arah pusat pulau keluar dari dermaga.

Salah satu saudagar paruh baya menghela napas panjang, “Berapa kalipun kusaksikan, pemandangan ini selalu menakjubkan.”

“Paman, apakah mereka begitu hebat?” Tanya keponakan laki-lakinya yang masih remaja.

“Hampir sebagian besar bagian dari dunia ini porak poranda akibat perang. Kecuali beberapa tempat seperti Pulau Langit Timur, hampir tidak ada tempat yang benar-benar aman. Manusia di luar sana kehilangan kemanusiaannya. Hanya di tempat seperti ini kita bisa tidur tanpa khawatir ada mata belati yang akan menempel di leher kita. Dan ini berkat kekuatan militer yang adidaya. Sayang sekali….”

“Sayang apa, Paman?”

“Jika Raja dan Ratu Langit Timur generasi sebelumnya tidak gugur dalam pertempuran itu bersama seluruh jenderal dan angkatan perang mereka. Mungkin dunia saat ini sudah menjadi tempat yang lebih baik. Ah, setidaknya keluarga kita cukup beruntung, tanah kelahiran kita menjadi salah satu tempat yang dibebaskan dari perang oleh para pendahulu.”

“Mengapa aku tidak tahu tentang hal itu?”

“Nak, jika Paman memiliki kesempatan, keluarga kita pasti sudah mengirimmu untuk belajar di Akademi Langit Timur, sehingga wawasanmu dapat bertambah. Tapi…, sudahlah”

Si pria paruh baya terdiam lagi. Sang keponakan pun tidak tahu harus berkata apa, kecuali kembali menguyah sebatang roti sambil menunggu dermaga dibuka kembali. Mata remajanya memandang jauh ke arah sejumlah bayangan menghilang di cakrawala, mengingatkannya pada sebuah karya fiksi klasik – gundam.

Beberapa ratus mil laut dari Dermaga Langit, sebuah pesawat berwarna perak turun dan melayang tepat di bawah awan putih, membuatnya tersamar dengan baik.

Pema mengangkat kepalanya dan menatap lantai awan-awan itu, beberapa jam perjalanan ini membuatnya pertama kali begitu dekat dengan langit.

Dia memegang sebuah ponsel baru dan mengambil gambar kumpulan awan serta cakrawala dari dalam kokpit. Ponsel tersebut diberikan Nandha padanya, dan terhubung langsung dengan sistem AI Lex. Dalam beberapa jam, Pema yang cerdas telah belajar banyak hal tentang dunia luar.

“Tuan Muda, satu skuadron Alpha Wings mendekat dari arah Timur Laut. Mereka datang untuk mengawal Anda kembali pulang.”

Pema melihat sekitar dua puluh titik terang mendekat dari Timur Laut, ‘Oh, inikah Hiperdroid yang baru kubaca tadi?’ Ia tampak tak ingin melewatkan detail sesuatu yang baru dalam pengetahuannya.

Satu skuadron Hiperdroid tiba dalam sekejap mata, dan langsung membentuk formasi pengawalan di sekitar pesawat. Mereka seperti sepasukan malaikat penjaga dengan sepasang sayap putihnya.

“Alpha Wings melapor pada Komandan. Kami akan mengawal Anda sampai di tujuan.”

Berkat kemajuan teknologi, suara kecerdasan buatan di dalam Alpha Wings sudah tidak terdengar mekanis lagi, bahkan tidak dapat dibedakan dengan suara manusia pada umumnya.

“Lanjutkan.” Jawab Nandha dengan singkat.

Tiga puluh menit sisa penerbangan mereka disibukkan oleh Pema yang mengambil banyak gambar dan video, sesekali bertanya pada Nandha, dan bercakap-cakap dengan sistem kecerdasan Alpha Wings. Pema menemukan agak aneh ketika manusia bercakap-cakap dengan mesin, layaknya manusia dengan manusia, walau isi percakapan mereka kadang terdengar tidak biasa.

“Tempat apa yang paling kalian tidak sukai?”

“Dasar samudra.”

“Mengapa?”

“Kami tidak didesain untuk menjelajah dasar samudra.”

“Mengapa tidak mengubah desainnya saja?”

“Sudah ada Hiperdroid kelas lain yang memiliki kemampuan strategis itu.”

“Oh… oh…, kelas yang mana?”

“Kelompok Delta Fins.”

“Di mana aku bisa bertemu mereka?”

“Mereka tidak suka muncul ke permukaan, mereka benci udara, mungkin saat ini mereka sedang berkumpul di salah satu palung laut.”

“Ooouuu….” Pema tertunduk lesu, keingintahuannya baru saja membentur dinding yang tinggi.

Tak lama kemudian, perhatian Pema teralih pada sebuah pulau yang melayang di langit.

‘Ini tak mungkin!’ Pema berbisik dalam benaknya. “Oh, pelabuhan yang indah.”

Ini pertama kalinya juga ia melihat sebuah peradaban yang lebih luas dibandingkan tempatnya dulu tumbuh besar.

“Kita pulang.” Sambung Nandha sambil membelai lembut kepala Pema.

“Pulang.” Kata Pema pelan.