Nandha memanggul Pema di punggungnya dan berjalan pelan kembali ke sebuah tempat yang menjadi pengikat takdir mereka.
Dua bayangan yang menjadi satu bergerak ketika sang fajar menyemburat di Tenggara jauh.
Udara mulai menjadi lebih bersahabat, dan semburat cahaya mulai menyentuh sepasang kelopak mata Pema yang tertutup membuat mereka mulai terbuka perlahan.
“Selamat pagi.” Kata Pema dengan pelan.
“Selamat pagi, Pema.” Jawab Nandha dengan ramah.
“Di mana kita?” Tanya Pema dengan nada yang masih sedikit mengantuk.
“Tidak jauh dari rumah. Jika kamu masih mengantuk, tidurlah sebentar lagi. Aku akan membangunkanmu saat kita tiba.”
“Hmmm….”
Pema kembali memejamkan matanya. Ia menikmati saat ini, ketika matahari terbit, dan ia tak lagi harus takut akan menghindari bayangannya muncul di permukaan salju dan diburu oleh orang-orang itu
Mungkin inilah pertama kalinya Pema dapat meletakkan kepalanya dengan pulas, bebas dari rasa khawatir sejak berminggu-minggu dalam pelarian.
Setelah satu jam berjalan, mereka tiba di sebuah dataran yang terisi oleh berbatuan. Sejumlah bagian yang tak memiliki peninggian oleh berbatuan tampak membentuk labirin raksasa dengan dinding-dindingnya yang setinggi hampir dua kali orang dewasa.
Berbatuan itu tampak sedingin salju yang selalu menutupinya selama bertahun-tahun, dari masa ke masa.
“Pema, kita sudah sampai.”
“Oh…,” Pema kembali membuka sepasang matanya. Seketika cengkeraman tangannya menjadi lebih kuat. Air matanya menetes kembali.
Ini adalah rumahnya, rumah mereka yang ia kenal sedari awal semua kenangan yang dimilikinya.
Di atas berbatuan itu seharusnya terdapat banyak bangunan, dengan tangga batu yang menghubungkannya dengan jalan utama yang tampak seperti labirin.
Pagi hari seperti ini biasanya, suasana riuh percakapan dapat terdengar dari setiap sudut, dengan asap perapian yang membumbung di sana-sini, dan aroma khas sup dan pelbagai makanan yang menjadi sarapan warganya. Para orang tua saling menyapa, dan anak-anak mulai berlarian di bawah sinar pagi.
Kehangatan yang ada dalam kenangan Pema kini tak ada lagi di hadapannya. Berbatuan itu kini sunyi, mati, dan dingin.
“Ayah…, Ibu…, Paman…, Bibi…, teman-teman…, apakah mereka semua sudah pergi?” Pema bergumam, air mata sebening kristal yang menggenang pun mulai menetes.
Nandha tidak menjawab, ia hanya berkata, “Ayo….”
Nandha membawa Pema berjalan masuk lebih jauh lagi. Pema dapat melihat puing-puing bangunan yang menghitam arang. Ia bisa membayangkan bagaimana mengerikannya apa yang sudah terjadi di sini, setelah kedua orang tuanya mengirim ia pergi meninggalkan desa mereka.
Di pusat desa yang luluh lantah itu terdapat area lapang melingkar yang dulu menjadi tempat masyarakat berkumpul dan berkegiatan atau merayakan hari penting dan mengadakan festival. Kini, tanah tersebut berubah menjadi pemakaman tanpa nisan. Puluhan makan berjejer rapi tertutup salju, memberikan nuansa yang bersih dan damai.
Pema yang telah turun dari gendongan berlari ke arah pusara-pusara tersebut. Dia jatuh bersimpuh melihat semuanya.
Dan anak perempuan itu menangis, meraung-raung sekerasnya.
“Tuan Muda, tidakkah ini sedikit berlebihan?” Suara mekanik terdengar di telinga Nandha.
“Biarkan ia menangis sekarang, air matanya akan menjadi hujan yang menyemai padang rumput terindah dalam kehidupannya di masa mendatang. Jika ia tidak menangis sekarang, semua akan menjadi mendung yang menghalangi sinar mentari masuk ke dalam kehidupannya di hari esok.”
“Maaf, saya tidak paham, Tuan Muda.”
“Ia perlu menemukan sebuah tujuan untuk melangkah maju, tidak terikat di masa lalu. Dan tujuan itu tidak boleh disusun dari keraguan dan pelarian. Ia harus menghadapi hari ini untuk mencapai esok.”
“Akankah dia baik-baik saja?”
“Kita akan lihat…., kita akan lihat….”
Tak lama berselang, Pema hanya terisak satu atau dua kali. Ia telah menghapus air matanya berkali-kali.
Pema berdiri, dan kembali memeluk Nandha.
“Ayo, ucapkan selamat tinggal.” Nandha menghapus sisa air mata di pipi Pema dengan lembut. “Tunggu sebentar.” Nandha meletakkan tangan di kepala Pema, “Emundo!”
Uap yang berpendar menyelimuti Pema dan dalam sekejap menghilang bersama seluruh kotoran yang menyelimuti tubuh dan pakaian gadis kecil itu. Ia tampak seperti baru saja selesai berdandan dengan sederhana, sepasang mata yang indah, pakaian yang rapi, dengan rambut terurai lembut.
Pema terkejut melihat perubahan yang terjadi, namun anak cerdas ini langsung paham dan mengangguk.
Pema berpaling ke arah pemakaman dan membungkuk. “Semuanya, selamat tinggal! Terima kasih atas segalanya!” Ucapnya setengah berteriak.
“Bagus.”
Tak lama berselang, sebuah jet swakemudi mendarat tak jauh dari pemakaman.