Ema 11 – Perjamuan

Quator Venti Corona selalu memiliki pemenang, juara, the champion. Mereka adalah penyihir-penyihir yang tumbuh menjadi legenda, bahkan mitos. Namun dalam seabad, pemenang mahkota belum tentu bisa menjadi pemegang mahkota.

Dalam seratus tahun terakhir hanya ada tiga, mereka yang mampu mengenakan Mahkota Empat Angin di kepala mereka. Reginis et Regibus, para raja dan ratu dunia sihir.

Kini, sosok keempat yang misterius hadir di antara mereka.

“Wah…, wah…, lihat siapa yang datang. Putri – oh – Ratu Kastel Es Utara, Tiga Penjaga, Empat Pelindung, dan Delapan Jenderal. Apakah kalian hendak pergi ke suatu perjamuan?” Sapa Nandha dengan nada yang tenang.

‘Dia tahu tentang kita’ – demikian pikiran orang-orang tersebut.

“Kita bertemu lagi, Nandha.” Sapa gadis itu, “Panggil aku seperti dulu saja, Liz.”

Nandha menggelengkan kepalanya, “Saya harap juga demikian, Yang Mulia Ratu. Tapi saya rasa Anda tidak membawa seluruh elite Kastel Es Utara untuk sekadar menemui seorang kenalan bukan, Ratu Lelya Linnea dari Utara?”

Lelya mengepalkan tinjunya erat-erat, dia merasakan nada dingin dari lawan bicaranya, dan itu bukanlah pertanda baik.

“Kami menginginkan anak itu!” Lelya menunjuk pada Pema yang terbaring di belakang Nandha.

“Tch…, tetaplah bermimpi.” Nandha menampik begitu saja ucapan Lelya. “Kalian pikir aku tidak tahu apa sedang terjadi. Kalian bertindak diam-diam agar dunia tidak tahu, tapi seluruh dunia tahu, hanya mereka berpura-pura tak tahu. Kalian tahu seluruh dunia berpura-pura tak tahu, dan kalau berpura-pura bahwa dunia memang tak tahu catatan hitam kalian. Itu menjijikkan!”

“Kurang ajar!” Teriak salah satu dari kelompok elite Kastel Es Utara.

“Beraninya berkata tidak sopan pada pimpinan kami!” Teriak yang lain.

“Nona! Kita harus segera bertindak!” Desak yang lain.

Lelya mengangguk, “Nandha, sangat disayangkan kita berada di sisi yang berlawanan. Aku mungkin tidak bisa menandingimu sendiri. Tapi dengan kami semua, sepertinya dunia sihir akan kehilangan salah satu permata berbakatnya.”

Layla menjentikkan jarinya.

Tujuh bayangan di kiri dan kanan melesat, tiga menuju Nandha, dan yang lain menuju Pema.

Pelbagai rapalan mantra yang tak terdengar berdengung di udara yang dingin. Tiga tombak es mewujud di udara dan melesat kencang ke arah Nandha, sementara empat bayangan berlari kencang memutar ke arah Pema.

Walau semua berlangsung dengan cepat, namun tampak lambat dalam pengindraan Nandha, dan ia pun mengangkat kedua tangannya sejajar dadanya.

PA! PA! PA! BAK! BAK! BAK! BAK!

Tujuh tinju dilayangkan oleh tangan mungil Nandha. Seketika tujuh tubuh terpental menjauh dan terserat selusin meter di atas salju sebelum berhenti.

Mandala sihir berpendar di kaki Nandha, dan dengan mudah dia melompat menendang ketiga tombak es yang melesat ke arahnya, membuat mereka berubah arah dan melesat ke arah Lelya.

Lelya mengangkat tangannya, dan perisai sihir terbentuk di hadapannya yang bertubrukan dengan ketiga tombak es, hingga keduanya sama-sama hancur berkeping-keping.

Semua terjadi dengan cepat.

Ketika yang lain sadar apa yang sedang terjadi, sebagian mendapati tumbuh mereka tersungkur di atas salju dan sensasi panas laksana terhantam gada yang membara. Sebagian yang lain menyaksikan rekan mereka tergeletak di atas salju dengan dikelilingi salju yang menguap cepat akibat panas.

“Tinju Delapan Penjuru!” Salah satu bayangan yang tersadar tak sengaja mengucapkan kata-kata itu.

“Itu bukan ilmu sihir sama sekali! Itu seni bela diri dengan tenaga murni!” Sambung yang lain.

“Bukankah bocah itu penyihir?” Ada yang menambah kekagetannya.

Lelya menatap tajam ke arah Nandha, lalu berucap pelan, “the Sage….”

Sebuah kata yang mengheningkan semuanya.

Gelar penyihir hanya terbatas empat, the sorcerer, the esper, the wizard, the mage. Mereka adalah gelar yang melambangkan dimulainya dunia lama lebih dari seribu tahun yang lalu dari para pendirinya, dan diwariskan kepada umat manusia. Tapi ada gelar kelima yang terlupakan, the Sage. Terlupakan karena hanya satu insan yang memegang gelar ini di awal era dunia lama, dan tidak pernah ada lagi setelah itu, tak terwariskan dalam catatan sejarah umat manusia.