Nandha bisa merasakan jelas, sejumlah aura maha-insan mendekat dengan cepat dari arah Utara. Dan mereka bukan berita baik bagi Nandha, tapi di sisi lain, mereka tidak akan menjadi kabar yang buruk.
“Lex, siapa yang datang dari Utara?”
“Citra satelit menunjukkan tiga pesawat pengangkut militer, lambang pada ekor pesawat menandakan Kastel Es Utara.”
“Uh, mereka sepertinya mendengarkan peringatan. Lex, jatuhkan mereka!”
“Baik, Tuan Muda.”
Pema tampak bingung melihat Nandha bergumam seorang diri.
Menyadari hal ini, Nandha membelai rambutnya kembali. “Tidak ada apa-apa, ayo Kakak ajak pulang.”
“Pulang….”
Nandha meraih Pema dengan mudah dan menggendongnya. Ia segera melangkah kembali ke tempat semula.
“Apakah mereka ingin mencelakaimu?” Nandha melihat ke arah sejumlah jasad beku yang mereka lewati.
Pema mengangguk, “Mereka berkata akan mendapatkan banyak uang jika menjual Pema. Mereka sangat jahat, mereka menangkap dan mengurung Pema.”
“Hmm…, tidak ada yang bernilai mahal untuk dijual di dunia lama, kecuali mereka yang memiliki emas untuk kepalanya.” Nandha berpikir sejenak sebelum melanjutkan, “Sepertinya beberapa orang tidak bisa mengubah sikap keras kepalanya.”
“Apa orang-orang jahat akan datang lagu?” Pema bertanya dengan ragu.
“Mereka telah datang, dan mungkin sedang datang. Apa Pema merasa takut?”
Pema tidak menjawab, namun dekapannya menjadi semakin erat.
Nandha membayangkan, seorang gadis kecil yang belum genap berusia enam tahun menjadi saksi mata pembantaian orang-orang terdekat dan terkasihnya, lalu harus berlari dan bersembunyi seorang diri.
Mereka berdua bergerak dalam gelap dan dingin. Namun, kehangatan tumbuh di antara keduanya.
Perlahan-lahan Pema menutup matanya, napasnya mulai memelan dan semakin dalam. Pema pun segera terlelap dan terbawa ke dalam alam mimpi yang menenangkan, entah kapan ia terakhir kali tertidur selelap ini.
Menyadari hal ini, Nandha membelai rambut gadis kecil itu. Mau tak mau, pikirannya melayang ke dalam sebuah kenangan lebih dari lima tahun yang lalu, ketika ia masih berusia se-Pema saat ini.
Di sebuah desa yang berbalut salju sepanjang tahunnya, para penduduk di sana hidup dengan sederhana. Nandha kecil mengunjungi desa tersebut untuk belajar ilmu sihir yang hanya dimiliki oleh warga desa itu. Sebuah sihir unik yang mampu mengendalikan es dan salju, dan menurut seseorang yang “melemparnya” ke desa tersebut, tidak ada tempat lain di belahan Bumi lainnya yang memiliki sihir serupa.
Akhirnya Nandha menetap di rumah kepala desa dan belajar sihir dari keluarga tersebut.
Kepala desa tersebut bernama Khunzang, dan istrinya yang sedang hamil tua bernama Lhamo. Mereka menerima Nandha dengan terbuka, dan melihat bakat anak laki-laki tersebut, mereka tidak pelit berbagi ilmu sihir mereka.
Bisa dikatakan bahwa itu merupakan kali pertama orang luar desa yang bisa belajar salah satu ilmu sihir unik dari desa tersebut. Ilmu yang dijaga secara turun temurun oleh wangsa Ullr – sebuah klan kuno yang hadir sejak awal dunia lama terbentuk.
Hari-hari yang dihabiskan seorang anak kecil di tanah asing menjadi hari-hari yang penuh kenangan indah. Nandha bertemu banyak orang, dan belajar banyak hal. Warga Ullr selalu menganggapnya sebagai bagian dari komunitas yang tak terpisahkan.
Suatu malam, tangisan memecah keheningan desa.
Pertama kali dalam hidupnya, Nandha memeluk sebentuk kehidupan baru dalam dekapannya, bayi cantik yang diberi nama Pema oleh kedua orang tuanya.
“Dia akan menjadi adik kecilmu, Nandha.” Kata Khunzang.
“Dan kuharap, kamu akan selalu menjaganya.” Lanjut Lhamo.
Nandha hanya mengangguk ringan malam itu, sanubarinya dipenuhi oleh perasaan yang belum pernah hadir dalam dirinya.
Menjadi kenangan yang begitu melekat di dalam hatinya. Ia berharap, hari-hari seterusnya akan seperti itu, tenang, menghanyutkan, dan membahagiakan.
Hanya saja, kisah kehidupan memberi cerita lain.