Ema 7 – Penyelamatan (III)

Jauh di Utara, sebuah kastel es berdiri menjulang di antara pegunungan dengan salju abadinya. Sebagian besar bagian kastel runtuh dan ratusan ahli sedang berduyun-duyun membenahinya.

Sosok paruh baya berpakaian resmi tergopoh-gopoh berlari menuju area paling tengah dan paling dijaga di dalam kastel.

“Nona…, Nona….!” Teriak pria itu.

“Diamlah! Aku sudah tahu.” Jawab suara belia dari balik pintu.

Seorang gadis kecil melangkah keluar setelah pintu dibukakan. Ia memiliki sepasang mata indah dengan pupil yang jingga. Rambut gelap bergelombang. Keraguan tergambar dari raut wajahnya.

“Haruskah kita ke sana?” Tanyanya dengan nada berharap.

“Ini adalah urusan hidup dan mati Kastel Es Utara. Jika kita tidak menghapus seluruh keturunan Ullr, maka jika suatu saat dia tumbuh menjadi dewasa, kemampuannya bisa mengancam seluruh wangsa kita.” Jawab pria separuh baya.

“Lalu, lihatlah di sekeliling kita, Paman.” Gadis itu membuka jendela, dan melihat bagian kastel yang porak-poranda.

“Uh…” Pria paruh baya itu tertunduk lesu.

“Dua tahun lalu, Pimpinan Agung memimpin ekspedisi menghapus seluruh wangsa Ullr. Di saat mereka semua mabuk dengan keberhasilan, semua itu justru mengundang monster yang lebih mengerikan.”

“Nona, kita tidak memiliki pilihan lain. Ini demi klan kita. Jangan sampai monster itu tahu, maka kita semua akan tetap aman.”

“….”

“Nona, demi keselamatan semua orang yang berlindung di bawah nama Nona!”

Gadis itu menarik dan menghembuskan napas panjang. “Baiklah, panggil ketiga pelindung, keempat penjaga, dan delapan jenderal. Kita bergerak sekarang!”

Keputusan telah dibuat, dan seketika suasana di sekitar kastel menjadi sibuk. Mandala pemanggil benderang di langit di atas kastel. Dan semua orang tahu maknanya, perang atau bahaya besar.

 

Setelah berjalan melewati seluruh mayat yang membeku, si bocah melihat sosok anak kecil yang menangis terisak di pusat seluruh bencana ini. Sejumlah bola cahaya putih kebiruan menari-nari di sekitarnya.

“Aku menemukanmu….” Bisik si bocah sambil tersenyum, dan melanjutkan langkahnya menuju anak kecil tersebut.

Mendengar suara langkah kaki datang mendekat padanya, si anak kecil terkejut, dan menurunkan kedua tangan mungil yang menutupi wajahnya. Dari sepasang mata yang sembab, ia melihat sosok anak laki-laki berjalan ke arahnya. Awalnya keterkejutannya bercampur dengan takut, namun kemudian ia merasakan bahwa yang datang berjalan kepadanya adalah seseorang yang tersenyum bahagia.

“Si… siapa… kamu…?” Tanyanya.

“Akhirnya…, aku menemukanmu.” Kata bocah laki-laki itu sambil jatuh bersimpuh di hadapan si anak kecil, dan langsung memeluknya. “Mulai sekarang, kamu tak akan sendiri lagi gadis kecil. Aku akan selalu menjagamu, Pema.”

“Eh…?” Si gadis kecil yang dipanggil dengan nama Pema. “Apa aku kenal kakak?”

Panggilannya berubah dari ‘kamu’ menjadi ‘kakak.’

Si bocah melepas pelukannya dengan perlahan, dan menatap Pema dengan lembut, “Nama kakak adalah Nandha, Airavathanandha. Paman Kunzang dan Bibi Lhamo meminta kakak untuk mencarimu, dan kini kakak sudah menemukanmu.”

Pema kemudian teringat sesuatu, “Ayah…! Ibu…! Mereka … mereka dibunuh oleh orang-orang jahat…! Huaaa… huaaa….”

Tangisnya semakin menjadi-jadi.

“Pema…, Pema…, yakinlah, Paman dan Bibi tidak akan bahagia jika melihat Pema kecil bersedih terus-menerus. Kakak sekarang di sini, tidak akan kubiarkan orang-orang jahat itu mengganggumu lagi.” Kata Nandha sambil mengelus lembut rambut Pema.

“Sungguh?” Tanya si kecil menatapnya dengan sepasang mata jernih berlinang air mata.

“Sungguh!”

“Janji?”

“Janji! Meski langit runtuh, aku akan selalu ada untuk Pema.”

Pema mendekap Nandha dengan erat, walau beberapa kali isak masih terdengar, namun ia sudah mulai tenang.

Nandha hendak mengajak Pema pulang bersamanya, namun langit Utara mendadak mengantarkan aura yang haus akan darah.