Ema 4 – Pembantaian

Bocah itu dengan tenang melihat ke sekitar ruangan, tak mengacuhkan ketiga orang tersebut. Lalu dia tampak memikirkan sesuatu, dan kembali menatap ke arah tiga orang tersebut.

“Di mana pimpinan kalian?” Tanyanya dengan suara dingin.

“Ha ha ha….,” Mereka bertiga tertawa.

“Apa yang membuatmu berpikir, bahwa salah satu dari kami bukan pimpinan kami?” Salah satu yang lain bertanya balik.

“Kata-katamu barusan!” Jawab si bocah.

“….”

Ketiga orang itu terdiam, dan berpikir sebentar. Tapi mereka sepertinya antara paham dan tidak paham.

“Sudahlah, cukup.” Kata salah satu dari ketiganya.

“Benar, bocah ini berani datang dan membantai anak buah kita. Kita tak bisa melepaskannya.” Kata yang satunya.

“Tangkap, dan mungkin kita akan mendapatkan informasi berharga.” Kata yang terakhir.

Meski pun mereka adalah penyihir, namun mereka tidak berani meremehkan seorang bocah yang berhasil menerobos masuk ke markas mereka tanpa menimbulkan kecurigaan.”

infernum ordinata!”

Penyihir yang paling jangkung merapal mantranya dan membuat seluruh ruangan berpendar merah laksana neraka. Dan membuat aliran energi sihir yang mengerikan menyeruak masuk bangunan dan berkumpul pada permata yang berada di masing-masing tongkat sihir ketiganya.

medusae alliges duplicia!

Begitu penyihir kedua menyelesaikan mantranya, sejumlah ular berwarna batu terbang dari balik kepalanya dan membelit tubuh si bocah, menjadi simpul yang nyaris tidak bisa dilepas.

gladius ad tenebras!

Penyihir terakhir mengacungkan tingkatnya ke arah si bocah, dan siluet sebuah pedang beraura gelap mewujud dan seketika melesat menuju ke arah si bocah.

Ketiga mantra tersebut mungkin dirapalkan secara terpisah, namun semua proses terjadi dalam sekejap mata.

Si bocah menatap siluet pedang yang melesat ke arahnya.

“Aih, kombo pasaran ini lagi. Kenapa mereka tidak pernah membuat terobosan baru yang lebih kreatif.”

Si bocah menghela napas panjang, dan mengangkat tangannya. Terlihat lambat, namun sebenarnya sangat cepat.

Ujung jari telunjuknya bertemu dengan ujung pedang.

TASS!

Siluet pedang hancur berkeping-keping.

Sebelum ketiga penyihir tersebut dapat mencerna sepenuhnya apa yang sedang terjadi. Dari tangan yang sama, si bocah melepas tiga berkas cahaya dalam sekali kibasan.

Tiga berkas cahaya yang langsung menusuk tajak ke kepala ketiga penyihir tersebut, menyisakan sebuah lubang kecil seukuran jarum, dan raut wajah keheranan yang menjadi kaku di napas terakhir mereka.

Ruangan kembali menjadi hening, hanya suara nyala perapian yang sesekali terdengar dari arang dan kayu yang meletup-letup kecil.

“Tuan Muda, kita mendapatkan sejumlah masalah.” Suara mekanis terdengar di telinga si bocah.

“Satu per satu.”

“Ada sejumlah mata yang mengamati area ini.”

“Lupakan, mereka pasti sudah menduga dan merasa tidak sabar untuk melakukan sesuatu, tapi tidak berdaya. Lalu yang lain?”

“Pimpinan Tim berhasil menyelamatkan seluruh tahanan kecuali satu.”

“Satu? Ada korban?” Si bocah mengernyitkan dahinya. Selama dia ikut serta dalam operasi, hampir tidak ada korban.

“Bukan korban Tuan Muda, tapi ‘unik,’ saya menyarankan Anda bertemu langsung dengan pimpinan Tim.”

Si bocah mengangguk dan segera meninggalkan bangunan batu, seakan-akan dia baru saja masuk ke dalam ruangan museum, dan segera keluar setelah tidak menemukan sesuatu yang menarik.

Tak lama kemudian, ia tiba di tempat bangunan kayu paling besar. David telah menunggunya di sana.

Tak jauh dari pintu masuk bangunan, teronggok puluhan pasang rantai besi yang penuh darah.

Di dalam bangunan, berjejer ratusan orang dengan pakaian yang kotor dan lusuh, suasana yang kumuh, dan tanpa semangat hidup di balik tubuh yang hanya kulit membalut tulang. Dari bayi sampai lansia, mereka semua adalah tahanan dalam kamp ini.

“Pak, perwakilan tahanan hendak berbicara dengan Anda.” Kata David.