Hujan salju bertambah lebat, dan langit sangat gelap. Si bocah berjalan perlahan menuju ke pusat kamp. Dia seorang diri, tak tampak ketiga orang lainnya.
Tangan kirinya menggenggam sebuah busur perang dengan rileks. Langkahnya tidak lagi mengambang, namun terbenam dangkal ke dalam salju.
Ia bisa melihat bangunan-bangunan dalam kamp mulai tampak lebih jelas.
Ia mengangkat busurnya, dan ketika tangan kanannya menarik dawai busur, sebuah anak panah terbentuk secara ajaib, seperti air yang mengkristal – sebuah anak panah es siap dilepaskan.
Ia menarik napas panjang, dan
WUS! WUS! WUS!
Dalam sekejap mata, si bocah telah melepas tiga anak panah secara berurutan.
DUK! DUK! DUK!
Suara tiga badan terjatuh di atas salju.
Dalam satu langkah, si bocah telah sampai di hadapan tiga jasad yang lumuran darahnya mulai membeku dengan cepat.
Ketiganya tampaknya baru berpatroli di sekitar kamp. Mereka tidak menyadari bahaya yang datang dari jarak hampir satu kilometer. Mereka juga tidak sempat bereaksi. Karena ketiga anak panah menembus kepala dari arah tak terduga, dan tepat menancap sedikit di bawah serebelum, pada medula.
“Tanda kehidupan tidak terdeteksi.” Suara mekanis terdengar memberikan konfirmasi.
Si bocah kembali melanjutkan langkahnya, dan hal yang sama terulang kembali.
Di sebuah bukit tidak jauh dari sana, Irene mengamati situasi yang sedang di bawah dari teleskop senapan jarak jauhnya.
“Lima puluh enam.”
Clara terkejut mendengarnya, “Sudah sebanyak itu?”
“Iya. Dia memang seperti apa dibicarakan dalam legenda. Bahkan aku tak percaya apa yang sedang kulihat.”
“Legenda?”
“Sudahlah, suatu saat nanti kamu akan tahu. Sekarang, fokus dulu pada misi kita. Apa ada tanda baru?”
Clara mengangguk dan kembali fokus pada sebuah cakram yang melayang-layang di hadapannya. Pendaran redup jalin-susunan sihir tampak meliuk-liuk di atas cakram.
“Belum ada tanda apa pun. Bagaimana dengan pimpinan?”
Irene mengarahkan teropongnya ke sebuah bangunan kayu yang paling besar.
“David sudah berada di lokasi, dia sudah siap.”
Lalu dia mengarahkan kembali teropong ke arah semula.
“Apa?!”
Clara terkejut, nyaris memutus hubungan sihirnya dengan cakram di hadapannya.
“Ada apa?” Tanya Clara dengan tergugup.
“Dia…, dia… sudah akan masuk bangunan utama.” Irene menjawab dengan terbata-bata.
Clara terdiam.
Mereka berdua tahu, setidaknya ada dua ratus penjaga patroli di kamp ini yang harus dilumpuhkan sebelum rencana tahap kedua dilakukan. Tapi siapa sangka, rencana tahap pertama berjalan dengan begitu cepat.
Sementara itu si bocah berdiri di pintu utama sebuah bangunan yang terbuat dari batu.
Di kiri-kanan pintu, tergelatak tubuh-tubuh dingin yang tak lagi bernapas. Satu atau dua di antaranya masih mengapit puntung rokok yang menyala di antara jari tangan mereka. Dan setiap tubuh memiliki anak panah es yang menancap pada tempurung kepala mereka.
Pintu bangunan terbuka lebar dengan sendirinya, dan si bocah pun melangkah masuk dengan tenang.
Segera, ia berhadapan dengan tiga sosok berjubah gelap, masing-masing mengenakan topeng dan tampak menyimpan misteri. Tatapan mereka cukup membuat orang biasa merinding, dan mungkin mati ketakutan.
“Kupikir setan mana yang berani datang, ternyata hanya anak bawang!” Kata salah satu dari mereka yang memegang tongkat sihir di tangannya.
Jelas mereka adalah para penyihir!