Siapa yang menjadi saksi atas segala kekejaman peradaban? Mungkin hanya sang waktu. Siapa pula yang mengikuti setiap jejak langkah anak manusia yang terhempas takdirnya? Mungkin juga hanya sang kala.
Tiga belas November, Tahun keseratus tiga belas pascaperang pralaya. Sebuah pesawat jet siluman swakemudi mendarat di landasan kuno yang dulu merupakan bagian dari bandara Yakutsk.
“Tuan Muda, pesawat telah mendarat di titik BET-311.”
Sebuah suara mekanis memecah keheningan di tengah kabin.
Seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun membuka matanya.
“Terima kasih, Lex.” bocah itu menjawab pelan. “Lalu, apakah kamu sudah berhasil menghubunginya?”
“Belum dapat tersambung Tuan Muda. Komunikator Sang Ratu dalam kondisi aktif, namun tidak ada jawaban.”
Bocah tersebut terdiam sejenak. “Baiklah, tetap coba hubungi.”
“Baik Tuan Muda. Waktu lokal saat ini adalah pukul empat lebih tiga pagi. Suhu udara minus enam belas derajat Celsius. Kelembaban delapan puluh delapan persen dengan kecepatan angin maksimal satu kilometer per jam.”
Dengan menarik napas panjang, bocah tersebut bangun dari duduknya, dan meraih sebuah wadah tabung putih sewarna pakaian tebal yang ia kenakan.
“Buka pintu.”
“Baik.”
Pintu kabin terbuka dengan pelan, nyaris tanpa suara. Segera, sayup pelan angin terdengar sesekali, sambil membawa semburat udara dingin dan butiran salju masuk ke dalam kabin yang hangat.
Bocah tersebut melangkah keluar kabin sambil menggendong tabung putih di punggungnya. Sepasang iris yang hitam tersamarkan dari balik kacamata pelindung mengitiri sepasang pupil yang menciut melihat hamparan salju yang menyelimuti reruntuhan di sana-sini.
Kakinya menapak ringan dan cepat, melangkah cekatan di atas permukaan salju. Dalam dua tiga langkah, dia telah berada beberapa ratus meter dari pesawatnya. Nyaris tidak terdapat jejak pijakan di atas salju yang ia lewati.
Ia tiba di salah satu reruntuhan, dan melihat meja dan kursi tua yang dibalut campuran debu dan salju. Ketika ia menghapus tumpukan tersebut di salah satu sandaran kursi terdekat, hanya kerak yang muncul, menunjukkan betapa lamanya waktu telah berlalu di sini.
“Lex, perlihatkan citra satelit multilapis.”
“Baik.”
Seketika beberapa pola muncul pada kacamata pelindung yang dikenakan bocah tersebut.
Pola tersebut adalah peta beradius beberapa puluh kilometer dari titik di mana si bocah berada.
Ia melambaikan tangannya di udara dan mengetuk beberapa titik. Baginya, pola di kacamata telah berubah menjadi realitas yang disematkan ke ruang pandangnya. Ini adalah teknologi realitas virtual kuno yang masih bermanfaat sampai saat ini.
Tangannya bergerak beberapa kali, memutar posisi peta, membesarkannya, menandai beberapa titik, dan membuat alur rencana pergerakan. Jika ada yang melihatnya saat ini, mungkin mereka berpikir bahwa ia sedang melakukan pantomim yang tak seorang pun paham.
Setelah selesai, bocah tersebut melihat ke sekitar.
“Jika tidak salah, beberapa abad silam, tempat ini merupakan sebuah kedai kopi yang menghangatkan.” Ucapnya sambil menghela napas panjang.
“Benar sekali Tuan Muda.” Suara mekanis terdengar jernih. Sebuah keping komunikasi mikro tertanam di belakang telinga menjadi sumber suara ini.
“Jika perang pralaya tidak terjadi. Apakah tempat ini akan tetap indah?”
Jelas sekali ia masih melihat jejak kehangatan yang tertutup oleh waktu.
“Saya tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Perjalanan peradaban manusia bersifat multifaktorial, terdapat banyak prediksi yang bisa dihasilkan, baik yang baik maupun yang buruk.”
Bocah tersebut menggelengkan kepala, dan kembali melaju di bawah dekapan salju.